Pasca Reformasi 1998 berbagai macam aliran dan kelompok Islam mewarnai kehidupan kaum muslimin di Indonesia, terutama di kalangan muslim terpelajar yang berbasis di kampus-kampus, perkotaan dan kota-kota pelajar seperti Bandung dan Yogyakarta. Mereka sendiri menyebut kelompok-kelompok ini dengan istilah firqah, manhaj, tandzim, jamaah dan atau haraqah.
Diantara firqah-firqah yang cukup banyak pengikutnya di Indonesia itu adalah Ikhwanul Muslimun (aka. Partai Keadilan Sejahtera), gerakan Salafy (dengan berbagai pecahaannya), Hizbut Tahrir Indonesia dan yang terakhir adalah Jamaah Tabligh. Saya sendiri pernah mengikuti keempat aliran tersebut sebelum akhirnya keluar dan lebih memilih kembali ke akar tradisional saya yaitu Muhammadiyah.
Firqah pertama yang saya kenal adalah Jamaah Tabligh. Pada saat itu saya masih SMA yaitu sekitar tahun 1999. Saya dikenalkan dengan ajaran ini oleh salah seorang guru SMA saya yang setiap pelajaran olahraga rutin mengkampanyekan dan mendakwahkan ajaran Jamaah Tabligh. Beliau mengambil simpati dengan membedakan perlakuan terhadap siswa-siswa yang terlambat mengikuti pelajaran olahraga. Lazimnya mata pelajaran olahraga dimulai sekitar jam 3 sore. Bagi siswa yang terlambat datang dengan alasan shalat ashar, guru tersebut justru memuji-muji dan tak segan mengakatakan pada siswa yang tepat waktu untuk menjadikan siswa yang terlambat karena shalat sebagai contoh. Selanjutnya beliau mulai mendakwahkan tentang indahnya khuruj (tabligh khuruj fii sabiilillah) yaitu salah satu amalan Jamaah Tabligh dan mengajak para siswa ikut dengannya.
Saya mengenal PKS dan HTI pada waktu yang nyaris bersamaan pada saat saya kuliah di Yogyakarta. Saya terpesona dengan konsep jihad membela Palestina yang khas PKS dan konsep menolak demokrasi barat dan pro khilafah ala HTI. PKS sangat unik dengan gerakan kebudayaannya. Mulai dengan penggunaan kata-kata antum, anti, ukhti dan akhi dalam pergaulan. Penggunaan istilah-istilah seperti afwan dan ikhwan. Sampai kepada budaya nasyid dan liqa nya.
Tahun 2004 saya berpaling kepada Salafi setelah sebuah insiden yang aneh. Teman salafi saya begitu jijiknya melihat saya sampai-sampai beliau tidak mau menjawab salam saya dan ogah untuk duduk berdekat dekatan dengan saya dengan alasan saya adalah seorang ahlul bid’ah. Sikap kerasnya tersebut yang membuat saya penasaran dan bertanya-tanya apakah memang benar saya sekotor itu di mata dia. Tidak kurang tokoh-tokoh panutan saya seperti Sayyid Qutb dan Hasan al Banna yang saya kenal di Jamaah Tarbiyah (PKS) habis dicela dan ditelanjanginya. Klaim bahwa Salafi adalah satu-satunya golongan yang selamat dari 73 golongan langsung saya telan mentah-mentah.
Tiga bulan mengikuti Salafi saya hampir 180 derajat berubah. Saya sangat membenci PKS dan firqah-firqah yang lain. Ingin rasanya mencabuti dan merobek-robek bendera PKS atau HTI yang saya temui di lingkungan kampus. Bahkan jika ada dai Jamaah Tabligh yang coba-coba khuruj di masjid dekat kost-kostan saya, ingin rasanya membubarkan kegiatan mereka. Nuansa sejuk yang dulu saya peroleh dalam liqa-liqa Tarbiyah berganti dengan rasa gerah. Nyaris dalam setiap kajian isinya tidak lebih dari urusan cela mencela dan tahdzir mentahdzir. Bahkan saya nyaris tidak tahu siapa-siapa itu yang dicela dan ditahdzir.
Di Salafi saya mengenal tokoh-tokoh (ustadz-ustadz) di Indonesia dan di Timur Tengah sana yang ditahdzir (ummat diperingatkan untuk tidak mengikutinya). Saya tidak tahu siapa mereka-mereka itu, yang penting saya ikuti saja. Mereka sempat mengeluarkan daftar ustadz-ustadz yang mereka anggap kredibel sepanjang Aceh sampai Papua. Saya dengar-dengar ustadz-ustadz itu adalah murid-murid dari seorang ulama bernama Syaikh Muqbil di Yaman. Belakangan saya tahu ternyata nyaris sebagian besar tokoh-tokoh yang ditahdzir tersebut mengaku Salafi pula.
Saya mulai antipati dan alergi ketika kata-kata tercela seperti kecoak-kecoak dan anjing neraka muncul dalam forum kajian yang mulia. Saya mulai curiga kenapa teman salafi saya yang kajian di depan Fakultas MIPA dan yang kajian di Masjid Pogung mulai tidak bertegur sapa. Ada apa? Belakangan saya tahu bahwa mereka tidak sepemahaman. Teman saya yang di MIPA mengaku Salafi Asy Syariah dan menuduh yang di Pogung adalah antek-antek At Turats. Apalagi ini? Yang pasti saya tambah alergi.
Akhirnya dengan keikhlasan hati saya memutuskan untuk keluar saja dari firqah-firqah baru ini. Saya kembali saja ke akar tradisional saya yang damai. Saya pikir lebih baik saya meluangkan waktu saya untuk mengurusi Amal Usaha Muhammadiyah, bergerak di bidang pendidikan dan pemberdayaan ekonomi ummat. Terus terang saya juga tidak terlalu puas dengan kondisi Muhammadiyah sekarang yang gerakannya tidak sekinclong pada masa-masa awal berdirinya.
Tapi biarlah, saya akan berdiri saja disini. Melihat PKS, HTI, JT, Salafy dan FPI berlomba lari. Saya penasaran, siapa nanti yang akan jadi pemenang. Kadang saya memimpikan suatu gerakan Islam modern yang tertata rapi seperti PKS, memiliki konsep canggih bagaikan HTI, tetap berlandaskan aqidah yang lurus laksana Salafi dengan tetap mengedepankan cara-cara yang santun seperti Jamaah Tabligh dan tidak hanya mengurusi agama seperti halnya Muhammadiyah serta tidak meninggalkan karakter ke Indonesiaannya selayaknya Nahdhatul Ulama.
Kapankah itu bisa terwujud. Entahlah.
http://umum.kompasiana.com/2009
 
pemenagnya tetap PKS untuk tahun 2014, salam dari Caleg PKS Kalbar 2014 :
BalasHapusPemilihan Caleg DPRD Kalbar 2014 Satu Kursi Untuk Seniman